HARI KEBUDAYAAN NASIONAL 2025: Melestarikan Budaya Lokal, Meneguhkan Identitas Bangsa

Oleh: Hasbi, S.Tr.M., C.FR.
Penggiat Literasi dan Budaya

 

Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia, menetapkan tanggal 17 Oktober sebagai Hari Kebudayaan Nasional. Bangsa Indonesia memperingati Hari Kebudayaan Nasional, sebuah momentum untuk merefleksikan kembali kekayaan warisan budaya yang menjadi identitas dan jati diri bangsa. Tahun 2025 ini, peringatan tersebut terasa semakin bermakna di tengah derasnya arus globalisasi dan penetrasi teknologi digital yang tanpa batas. Di antara beragam kekayaan budaya Nusantara, Aceh menjadi salah satu daerah yang memiliki peran penting dalam menjaga napas tradisi, nilai-nilai kearifan lokal, serta semangat kebangsaan yang berakar kuat dalam sejarah dan kehidupan masyarakatnya.

Budaya bukan sekadar tari di panggung, pakaian adat di hari besar, atau musik tradisional yang sesekali kita dengar di festival. Budaya adalah cara hidup, cara berpikir, dan nilai-nilai yang membentuk siapa kita sebenarnya.

Bagi masyarakat Aceh, budaya itu menyatu dengan agama dan adat. Ungkapan klasik “Adat bak Po Teumeureuhom, Hukom bak Syiah Kuala” bukan hanya kalimat indah, tapi panduan hidup yang menjaga harmoni antara adat, hukum, dan nilai spiritual.

Namun, kini budaya sering tertinggal oleh tren. Anak muda lebih mengenal budaya Korea daripada Hikayat Prang Sabi atau tari Seudati. Padahal, di sanalah jati diri kita sebagai orang Aceh tumbuh. Tantangannya jelas: bagaimana membuat budaya Aceh tetap hidup dan relevan bagi generasi digital.

Di tengah perubahan sosial dan perkembangan teknologi, nilai-nilai tersebut menghadapi tantangan besar. Gaya hidup instan dan budaya global yang cenderung homogen dapat mengikis pemahaman generasi muda terhadap akar budayanya sendiri. Karena itu, penguatan budaya lokal menjadi langkah strategis untuk membangun ketahanan sosial dan identitas kultural Aceh di masa depan.

Digitalisasi dan Revitalisasi Kearifan Lokal

Era digital tidak harus menjadi ancaman. Sebaliknya, ia bisa menjadi alat revitalisasi budaya lokal. Inovasi seperti digitalisasi manuskrip kuno, pelestarian naskah hikayat Aceh, dokumentasi tari tradisional seperti Seudati dan Saman, serta pengarsipan digital kuliner dan bahasa Aceh merupakan langkah penting untuk menjaga eksistensi budaya di ruang maya.

Melalui platform digital, budaya Aceh bisa diperkenalkan lebih luas ke dunia internasional. Misalnya, dengan menghadirkan konten edukatif di media sosial, membuat aplikasi pembelajaran bahasa Aceh, hingga mengembangkan Sistem Informasi dan Digitalisasi Budaya Aceh sebagai repositori digital budaya daerah. Dengan cara ini, generasi muda tidak hanya menjadi konsumen budaya global, tetapi juga produsen dan pelestari budaya lokal.

Sinergi Pemerintah, dan Akademisi

Penguatan budaya lokal tidak bisa berdiri sendiri. Diperlukan kolaborasi antara pemerintah daerah, lembaga pendidikan, komunitas seni, dan masyarakat adat. Pemerintah Aceh, melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dapat mendorong program pelatihan budaya digital, festival kebudayaan berbasis komunitas, dan penghargaan bagi pegiat budaya lokal.

Sementara perguruan tinggi berperan sebagai pusat riset dan dokumentasi budaya, sedangkan komunitas budaya menjadi pelaku utama dalam pewarisan nilai dan praktik seni tradisional. Pendekatan ini akan memastikan bahwa kebudayaan tidak berhenti di museum atau panggung seremonial, tetapi hidup dan berkembang dalam keseharian masyarakat.

Sinergi Komunitas dan Generasi Muda

Pelestarian budaya tidak bisa diserahkan hanya kepada pemerintah atau akademisi. Komunitas budaya, seniman lokal, dan generasi muda Aceh adalah aktor utama dalam menjaga dan mengembangkan kebudayaan.

Mulailah dari hal sederhana: mendokumentasikan kisah nenek moyang kita terdahulu, membuat konten tentang adat istiadat, atau sekadar menggunakan bahasa Aceh dalam percakapan sehari-hari di media sosial.  Kecil, tapi berarti. Karena budaya tidak akan hilang kalau terus digunakan dan dibicarakan.

Meneguhkan Identitas Aceh dalam Bingkai Nasional

Peringatan Hari Kebudayaan Nasional bukan hanya seremonial, melainkan panggilan untuk meneguhkan jati diri sebagai bangsa yang beradab dan berakar. Bagi Aceh, menjaga budaya lokal berarti menjaga keberagaman Indonesia itu sendiri. Budaya Aceh yang religius, beradab, dan berjiwa gotong royong adalah bagian tak terpisahkan dari mozaik besar kebudayaan nasional.

Di tengah derasnya perubahan zaman, mari kita jadikan Hari Kebudayaan Nasional sebagai momentum untuk mencintai, memahami, dan menghidupkan kembali nilai-nilai budaya Aceh, bukan sekadar sebagai warisan masa lalu, tetapi sebagai panduan moral dan spiritual menuju masa depan yang berkeadaban.

Hari Kebudayaan Nasional bukan sekadar perayaan tahunan. Ini adalah ajakan untuk kembali mengenal diri sendiri. Bagi Aceh, menjaga budaya lokal bukan hanya soal kebanggaan daerah, tapi juga bentuk kontribusi bagi keberagaman Indonesia.

Di tengah dunia yang serba cepat dan globalisasi, budaya Aceh bisa menjadi kompas — menjaga kita tetap berpijak, tetap punya arah, dan tetap bangga menjadi bagian dari bangsa besar ini.

 

=======HSB*

Get 30% off your first purchase

X
Scroll to Top