Penulis:
Hasbi & Saiful Bahgia
Lembaga Riset dan Inovasi Kreyat Center &
Politeknik Kutaraja
BANDA ACEH – Memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dan menjadikan Kebudayaan sebagai investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa demi terwujudnya tujuan nasional sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Keberagaman Kebudayaan daerah merupakan kekayaan dan identitas bangsayang sangat diperlukan untuk memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia di tengah dinamika perkembangan dunia.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan, dijelaskan bahwa, Kebudayaan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil karya masyarakat. Indonesia adalah suatu negara yang kaya dan keberagaman kebudayaan. Kebudayaan tersebut harus harus dilestarikan oleh setiap anak bangsa, melalui Upaya-upaya pemajuan kebudayaan.
Pemajuan Kebudayaan dilaksanakan berlandaskan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. Indonesia telah menetapkan objek pemajuan kebudayaan yang terintegrasi dengan kearifan lokal masing-masing daerah. Adapun tujuan dari pemajuan kebudayaan ini adalah untuk: a.) mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa; b.) memperkaya keberagaman budaya; c.) memperteguh jati diri bangsa; d.) memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa; e.) mencerdaskan kehidupan bangsa; f.) meningkatkan citra bangsa; g.) mewujudkan masyarakat madani; h.) meningkatkan kesejahteraan rakyat; i.) melestarikan warisan budaya bangsa; dan j.) mempengaruhi arah perkembangan peradaban dunia, sehingga Kebudayaan menjadi haluan pembangunan nasional.
Adapun objek pemajuan kebudayaan yang ditetapkan dalam Undang-undang Pemajuan Kebudayaan, terdiri atas:
- tradisi lisan;
- manuskrip;
- adat istiadat;
- ritus;
- pengetahuan tradisional;
- teknologi tradisional;
- seni;
- bahasa;
- permainan rakyat; dan
- olahraga tradisional.
Aceh merupakan daerah kaya akan budaya lokal dan kental akan Sejarah dan peradaban bangsa. Hasbi dan Saiful Bahgia (2024), Budaya merupakan suatu proses humanisasi, yaitu usaha dan hasil usaha manusia dalam meningkatkan kualitas hidupnya sesuai dengan harkat dan martabatnya. Budaya Aceh yang kuat dipengaruhi oleh Islam tercermin dalam kekuatan syiar Islam dan budaya Islam yang terdapat di wilayah tersebut. Kebudayaan Aceh yang kaya dan beragam merupakan hasil akumulasi sejarah panjang yang diwariskan secara turun-temurun. Namun saat ini, seiring terjadi perkembangan zaman, telah merubah arah berifikir masyarakat terhadap perkembangan budaya luar yang begitu pesat dengan dukungan teknologi informasi. Sehingga Upaya dan semangat pemajuan budaya lokal kian menurun drastis dikalangan Masyarakat Aceh.
Mengatasi permasalahan tersebut, pembinaan perlu dilakukan pada generasi muda Aceh. Pembinaan adalah upaya pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kebudayaan, lembaga Kebudayaan, dan pranata Kebudayaan dalam meningkatkan dan memperluas peran aktif dan inisiatif masyarakat. Salah satu strategi untuk mencapai upaya pembinaan tersebut adalah melalui Inkubasi Budaya.
Peran Inkubasi Budaya sangat penting dalam menjaga, mengembangkan, dan memajukan kekayaan budaya, terutama dalam menghadapi tantangan globalisasi dan digitalisasi. Berikut adalah uraian tentang peran strategis inkubasi budaya:
- Pelestarian Budaya Lokal
- Pengembangan Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya
- Fasilitasi Regenerasi dan Transfer Pengetahuan
- Inovasi dan Adaptasi Budaya
- Mendorong Kolaborasi Antaraktor Budaya
- Penguatan Identitas dan Jati Diri
- Advokasi Kebijakan Budaya
Pelestarian Budaya Lokal
Inkubasi budaya berperan sebagai penjaga warisan budaya dengan mendorong dokumentasi, digitalisasi, dan revitalisasi tradisi, seni, bahasa, dan adat istiadat lokal yang mulai tergerus oleh modernitas.
Pelestarian budaya lokal merupakan upaya sistematis dan berkelanjutan untuk menjaga, merawat, dan mewariskan nilai-nilai, tradisi, adat istiadat, bahasa, kesenian, serta kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Budaya lokal mencerminkan identitas suatu komunitas atau daerah, menjadi sumber inspirasi, dan memperkaya keanekaragaman budaya bangsa.
Dalam konteks modern, pelestarian budaya lokal tidak hanya terbatas pada konservasi artefak atau ritual tradisional, tetapi juga mencakup revitalisasi dan adaptasi budaya agar tetap relevan di tengah perkembangan zaman. Hal ini dapat dilakukan melalui dokumentasi budaya, pendidikan berbasis budaya, digitalisasi warisan budaya, hingga pengembangan produk-produk ekonomi kreatif yang berakar pada nilai lokal.
Pelestarian budaya juga berperan penting dalam membangun jati diri dan karakter bangsa. Di tengah arus globalisasi yang cenderung menyeragamkan gaya hidup dan nilai-nilai, pelestarian budaya lokal menjadi benteng pertahanan terhadap hilangnya identitas kultural. Oleh karena itu, dukungan berbagai pihak—pemerintah, masyarakat, akademisi, dan pelaku budaya—diperlukan untuk memastikan bahwa warisan budaya tidak hanya dikenang, tetapi juga dihidupkan kembali dan diwariskan kepada generasi mendatang.
Pengembangan Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya
Inkubasi budaya mendorong pemanfaatan budaya sebagai sumber ekonomi melalui pembinaan UMKM kreatif, seperti kuliner tradisional, kriya, fesyen etnik, pertunjukan seni, dan produk digital berbasis budaya.
Pengembangan ekonomi kreatif berbasis budaya adalah proses pemanfaatan nilai, simbol, pengetahuan tradisional, seni, dan ekspresi budaya sebagai sumber daya utama dalam menciptakan produk dan layanan yang bernilai ekonomi tinggi. Ekonomi kreatif ini tidak hanya bertujuan menghasilkan keuntungan finansial, tetapi juga berkontribusi pada pelestarian identitas budaya dan pemberdayaan masyarakat lokal.
Budaya menjadi fondasi yang kuat dalam ekonomi kreatif karena mengandung kekhasan lokal (local wisdom) yang membedakan produk suatu daerah dari daerah lain. Melalui pendekatan ini, unsur-unsur budaya seperti motif batik, musik tradisional, cerita rakyat, hingga makanan khas dapat diolah menjadi produk inovatif yang mampu bersaing di pasar nasional maupun internasional.
Pemerintah dan berbagai lembaga kini mendorong penguatan ekonomi kreatif berbasis budaya karena dinilai mampu membuka lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan memperkuat ketahanan budaya di tengah tantangan globalisasi.
Contoh Pengembangan Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya
Fesyen dan Kriya Tradisional
- Pemanfaatan motif tradisional Aceh (seperti Pucok Reubong atau Awan Meucanek) dalam desain baju, tas, dan aksesori modern.
- Pengrajin membuat produk anyaman khas Gayo yang dijual melalui platform digital.
Kuliner Tradisional
- Usaha UMKM yang memproduksi dan memasarkan makanan khas seperti keumamah, mie Aceh, atau kue bhoi dalam kemasan modern.
- Kelas memasak daring untuk makanan tradisional lokal bagi wisatawan mancanegara.
Pertunjukan dan Seni Digital
- Festival budaya tahunan yang menampilkan tari Saman, Seudati, atau Didong dalam format pertunjukan virtual.
- Konten YouTube atau aplikasi mobile yang menyajikan cerita rakyat dan dongeng lokal dalam bentuk animasi.
Pariwisata Budaya
- Pengembangan desa wisata berbasis budaya yang menampilkan kehidupan adat, kerajinan tangan, dan kuliner tradisional.
- Tur budaya berbasis pengalaman seperti belajar menenun atau membatik langsung dengan masyarakat lokal.
Produk Digital Kreatif
- Aplikasi edukasi interaktif tentang aksara dan bahasa lokal.
- Game atau komik digital yang mengangkat tokoh-tokoh legenda daerah.
Fasilitasi Regenerasi dan Transfer Pengetahuan
Inkubasi budaya menjadi wadah pendidikan informal untuk generasi muda agar mereka dapat memahami, menghayati, dan meneruskan nilai-nilai budaya yang diwariskan dari leluhur.
Fasilitasi regenerasi dan transfer pengetahuan adalah proses yang bertujuan untuk mewariskan nilai-nilai, keterampilan, dan praktik budaya dari generasi tua kepada generasi muda secara terstruktur dan berkelanjutan. Proses ini sangat penting dalam menjaga kelangsungan hidup budaya lokal yang rentan punah akibat modernisasi, perubahan gaya hidup, dan kurangnya minat generasi muda terhadap warisan budaya mereka sendiri.
Melalui regenerasi, generasi muda tidak hanya menjadi penerus tradisi, tetapi juga berpotensi menjadi inovator yang mampu mengembangkan budaya dengan cara yang lebih kreatif dan relevan dengan zaman. Transfer pengetahuan dilakukan melalui berbagai bentuk kegiatan seperti lokakarya, pelatihan, pendidikan informal, magang budaya, hingga pemanfaatan media digital untuk dokumentasi dan penyebaran pengetahuan.
Fasilitasi ini tidak hanya memperkuat identitas budaya dan rasa bangga terhadap warisan leluhur, tetapi juga menciptakan ruang dialog antargenerasi yang memperkaya perspektif dan pengalaman budaya dalam suatu komunitas.
Contoh Fasilitasi Regenerasi dan Transfer Pengetahuan
Sekolah Budaya atau Sanggar Seni Tradisional:
- Pelatihan tari Saman, Seudati, dan Didong untuk anak-anak dan remaja oleh para maestro budaya di komunitas.
- Kelas musik tradisional (misalnya rapa’i atau serune kalee) di sanggar seni lokal.
Program Magang Budaya:
- Pemuda desa magang dengan perajin kerajinan tradisional (seperti pembuat Rencong, anyaman pandan, atau bordir khas Aceh).
- Mahasiswa magang di lembaga adat untuk mempelajari struktur sosial dan upacara adat.
Workshop dan Pelatihan Intergenerasi:
- Pelatihan membuat makanan tradisional khas daerah yang melibatkan ibu rumah tangga sebagai mentor dan anak muda sebagai peserta.
- Lokakarya menulis aksara Jawi atau Arab Melayu bagi pelajar dengan narasumber dari kalangan tua.
Digitalisasi dan Dokumentasi Budaya oleh Pemuda:
- Komunitas muda mendokumentasikan tradisi lisan, ritual, dan cerita rakyat dalam bentuk video, podcast, atau buku digital.
- Proyek digital storytelling yang melibatkan generasi tua sebagai narasumber dan generasi muda sebagai kreator konten.
Festival atau Pameran Budaya yang Melibatkan Generasi Muda:
- Festival budaya tahunan yang menampilkan pertunjukan seni oleh pelajar.
- Lomba kreatif berbasis budaya seperti cipta lagu daerah, desain motif tradisional, atau film pendek bertema budaya lokal.
Inovasi dan Adaptasi Budaya
Inkubasi budaya tidak hanya bersifat konservatif, tetapi juga mendorong inovasi—mengembangkan bentuk-bentuk baru ekspresi budaya tanpa kehilangan nilai inti. Contohnya adalah penciptaan seni pertunjukan kontemporer berbasis tari tradisional.
Inovasi dan adaptasi budaya adalah proses dinamis yang memungkinkan suatu budaya untuk bertahan, berkembang, dan tetap relevan di tengah perubahan zaman tanpa kehilangan esensi dan nilai-nilai dasarnya. Proses ini melibatkan kreativitas dalam mengolah unsur-unsur tradisional menjadi bentuk baru yang sesuai dengan kebutuhan, selera, atau teknologi masa kini, sekaligus mencerminkan identitas budaya yang hidup dan fleksibel.
Dalam konteks ini, budaya tidak dipandang sebagai sesuatu yang statis, tetapi sebagai warisan yang bisa diinterpretasi ulang, dipadukan, dan dikembangkan sesuai perkembangan sosial, ekonomi, dan teknologi. Inovasi memungkinkan penciptaan produk budaya baru yang memiliki daya tarik generasi muda, sementara adaptasi memungkinkan budaya lokal bertahan di tengah arus globalisasi dan modernisasi.
Inovasi dan adaptasi juga menjadi strategi penting dalam menjaga keberlanjutan budaya, menjembatani generasi tua dan muda, serta menjadikan budaya sebagai sumber daya kreatif dalam ekonomi, pendidikan, dan pariwisata.
Mendorong Kolaborasi Antaraktor Budaya
Inkubasi budaya menjembatani kolaborasi antara seniman, budayawan, akademisi, pelaku industri kreatif, dan pemerintah, sehingga ekosistem budaya dapat tumbuh secara sinergis.
Kolaborasi antaraktor budaya merupakan upaya strategis untuk menyatukan berbagai pihak yang terlibat dalam ekosistem kebudayaan, seperti seniman, budayawan, akademisi, pelaku usaha, komunitas adat, pemerintah, media, dan generasi muda. Tujuannya adalah menciptakan sinergi dalam pelestarian, pengembangan, serta pemanfaatan budaya sebagai kekuatan sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.
Dalam dunia yang semakin kompleks dan saling terhubung, tidak satu pihak pun yang dapat menjalankan agenda kebudayaan secara sendiri. Diperlukan kerja sama lintas sektor dan lintas generasi agar program dan inovasi budaya dapat dirancang, dilaksanakan, dan dikelola secara efektif dan inklusif.
Kolaborasi ini memungkinkan terjadinya pertukaran ide, peningkatan kapasitas, pembagian sumber daya, serta penguatan jaringan antar pelaku budaya. Selain itu, kolaborasi juga memperbesar dampak dari kegiatan budaya, menjangkau audiens yang lebih luas, serta memperkuat posisi budaya lokal di tengah arus global.
Penguatan Identitas dan Jati Diri
Dengan memperkuat nilai dan ekspresi budaya lokal, inkubasi budaya berperan dalam memperkuat identitas komunitas dan kebanggaan terhadap warisan leluhur, yang penting dalam menghadapi homogenisasi budaya global.
Penguatan identitas dan jati diri merupakan upaya sadar untuk menanamkan, memperkuat, dan merefleksikan nilai-nilai budaya, sejarah, bahasa, adat istiadat, serta simbol-simbol lokal sebagai bagian penting dari pembentukan karakter individu maupun kolektif suatu masyarakat. Identitas budaya bukan sekadar penanda asal-usul, tetapi juga menjadi fondasi dalam membentuk cara berpikir, bersikap, dan bertindak di tengah kehidupan sosial.
Dalam konteks globalisasi yang cenderung menyeragamkan cara hidup, penguatan identitas menjadi tindakan strategis untuk mempertahankan keunikan dan eksistensi budaya lokal. Jati diri yang kuat memungkinkan masyarakat tetap berdiri teguh dengan nilai-nilai budayanya, sekaligus terbuka dan adaptif terhadap perubahan zaman tanpa kehilangan akar budayanya.
Proses penguatan ini dapat dilakukan melalui pendidikan berbasis budaya, pelibatan aktif generasi muda dalam kegiatan seni dan tradisi, serta peneguhan simbol-simbol budaya dalam ruang publik. Dengan demikian, masyarakat memiliki kebanggaan terhadap warisan budayanya sendiri dan mampu menempatkan identitas lokal sebagai kekuatan dalam interaksi nasional maupun global.
Contoh Penguatan Identitas dan Jati Diri
Pendidikan Berbasis Budaya:
- Integrasi muatan lokal dalam kurikulum sekolah, seperti sejarah daerah, bahasa daerah (misalnya Bahasa Aceh atau Gayo), dan kesenian tradisional.
- Kegiatan ekstrakurikuler yang mengenalkan siswa pada alat musik, tari, atau busana adat setempat.
Festival dan Perayaan Budaya:
- Pelaksanaan event budaya tahunan seperti pekan budaya daerah yang melibatkan masyarakat luas untuk merayakan kekayaan identitas lokal.
- Pameran kerajinan, kuliner, dan seni pertunjukan tradisional sebagai bentuk ekspresi kebanggaan budaya.
Simbolisasi Identitas dalam Ruang Publik:
- Penggunaan ornamen dan arsitektur khas daerah dalam bangunan pemerintahan, sekolah, dan fasilitas umum.
- Penetapan hari berpakaian adat dalam institusi sebagai bentuk visualisasi identitas.
Penguatan Komunitas Adat dan Nilai Lokal:
- Dukungan terhadap keberadaan dan peran lembaga adat sebagai penjaga nilai dan norma budaya dalam masyarakat.
- Revitalisasi hukum adat dan praktik tradisi dalam penyelesaian masalah sosial.
Literasi dan Dokumentasi Budaya:
- Penulisan buku, film dokumenter, dan arsip digital mengenai sejarah lokal dan tokoh-tokoh budaya yang menginspirasi.
- Kampanye literasi budaya melalui media sosial yang ditujukan kepada generasi muda.
Penguatan identitas dan jati diri bukanlah bentuk eksklusivisme budaya, melainkan cara membangun rasa percaya diri kolektif, kebanggaan terhadap akar budaya sendiri, serta ketahanan sosial yang berakar pada nilai-nilai luhur bangsa.
Advokasi Kebijakan Budaya
Inkubasi budaya juga dapat menjadi aktor strategis dalam mendorong kebijakan yang pro-pelestarian dan pengembangan budaya, baik di tingkat lokal maupun nasional.
Advokasi kebijakan budaya adalah upaya sistematis untuk mempengaruhi, mendorong, dan memperkuat kebijakan publik yang mendukung pelestarian, pengembangan, serta pemanfaatan budaya secara adil dan berkelanjutan. Proses ini melibatkan berbagai aktor budaya—seperti seniman, komunitas adat, akademisi, lembaga kebudayaan, hingga masyarakat sipil—yang secara aktif menyuarakan kepentingan budaya dalam ruang-ruang pengambilan keputusan.
Advokasi kebijakan penting karena budaya sering kali belum menjadi prioritas utama dalam perencanaan pembangunan. Oleh karena itu, advokasi menjadi sarana untuk memperjuangkan pengakuan, perlindungan, alokasi anggaran, regulasi, dan program-program strategis yang berpihak pada budaya lokal.
Proses advokasi dapat dilakukan melalui dialog kebijakan, kajian akademik, kampanye publik, pendampingan komunitas, serta kolaborasi dengan pemangku kepentingan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Tujuannya adalah agar kebijakan yang dihasilkan tidak hanya responsif, tetapi juga inklusif dan kontekstual, sesuai dengan kebutuhan dan dinamika kebudayaan masyarakat setempat.
Contoh Advokasi Kebijakan Budaya
Pengakuan dan Perlindungan Komunitas Adat:
- Mendorong pengesahan peraturan daerah (Perda) tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat beserta hak-hak budayanya.
- Advokasi untuk penetapan wilayah adat sebagai bagian dari pelestarian ruang hidup dan praktik budaya tradisional.
Alokasi Anggaran untuk Kegiatan Budaya:
- Kampanye agar anggaran pemerintah daerah lebih berpihak pada pelaku seni dan kegiatan budaya berbasis komunitas.
- Pengawalan dana kebudayaan agar tepat sasaran dan mendukung program yang berdampak nyata bagi masyarakat.
Kebijakan Pendidikan Berbasis Budaya Lokal:
- Advokasi untuk memasukkan muatan lokal budaya ke dalam kurikulum sekolah.
- Kolaborasi antara komunitas budaya dan lembaga pendidikan dalam menyusun materi ajar yang relevan.
Pelindungan Warisan Budaya:
- Penyusunan naskah akademik dan pemetaan aset budaya untuk mendukung penetapan cagar budaya.
- Advokasi agar warisan budaya takbenda (seperti upacara adat atau kesenian tradisional) didaftarkan ke dalam daftar nasional atau UNESCO.
Regulasi Ekonomi Kreatif Berbasis Budaya:
- Advokasi agar kebijakan UMKM dan industri kreatif mencakup pelaku usaha berbasis tradisi.
- Usulan insentif bagi usaha lokal yang melestarikan nilai-nilai budaya.
Advokasi kebijakan budaya bukan sekadar mengkritisi, tetapi juga menawarkan solusi berbasis bukti dan kearifan lokal agar pembangunan yang dilakukan benar-benar berpihak pada keragaman budaya sebagai kekuatan bangsa.
Itulah beberapa peran incubator budaya, dalam Pembinaan dan upaya pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kebudayaan (SDM Budaya) di Aceh. Dengan penguatan berbagai aspek budaya melalui kolaborasi, inovasi, advokasi, dan regenerasi, kita tidak hanya menjaga warisan leluhur, tetapi juga memastikan bahwa budaya tetap hidup, relevan, dan menjadi fondasi bagi pembangunan yang berkelanjutan di masa depan. Seluruh upaya ini diharapkan mampu menciptakan ekosistem budaya yang inklusif, adaptif, dan produktif, serta menempatkan budaya sebagai pilar penting dalam memperkuat identitas, memperkuat ekonomi kreatif, dan mempererat kohesi sosial masyarakat.
Budaya bukan sekadar masa lalu yang dilestarikan, tetapi sumber inspirasi masa kini dan masa depan. Melalui kerja bersama lintas generasi dan sektor, kita bisa menjadikan budaya sebagai kekuatan untuk membangun bangsa yang berkarakter, kreatif, dan berdaya saing.

