BANDA ACEH – Angin perubahan politik nasional seakan tak mampu meredam keresahan yang tumbuh dari tepian barat Indonesia. Di perairan Kabupaten Aceh Singkil, gelombang protes terus menguat seiring dengan keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang dinilai tidak hanya merugikan masyarakat Aceh, tetapi juga mencederai konstitusi dan semangat perdamaian nasional.
Pasalnya, penetapan batas wilayah administratif yang menetapkan empat pulau—Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang—sebagai bagian dari wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, dipandang bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, termasuk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), serta substansi kesepakatan damai dalam MoU Helsinki yang ditandatangani pada 15 Agustus 2005.
Keputusan Kemendagri ini memicu kegaduhan di Aceh. Berbagai elemen masyarakat, tokoh adat, akademisi, hingga aktivis perdamaian mempertanyakan dasar hukum dan proses penetapan tersebut. Sebab, menurut mereka, wilayah Aceh memiliki kekhususan yang telah diatur dalam perundang-undangan dan harusnya menjadi perhatian utama dalam setiap kebijakan nasional yang menyangkut tapal batas dan kewenangan pemerintahan.
“Ini bukan sekadar soal batas wilayah, ini menyangkut penghormatan terhadap kekhususan Aceh dan penghargaan terhadap semangat damai yang telah dibangun dengan susah payah,” ujar salah seorang tokoh ulama di Singkil, dalam sebuah forum masyarakat sipil.
UUPA, sebagai lex specialis bagi Aceh, secara tegas memberikan wewenang kepada Pemerintah Aceh dalam pengelolaan wilayah, termasuk penentuan batas administratif yang mempertimbangkan sejarah, adat istiadat, dan data geografis lokal. Penetapan Kemendagri yang justru mengabaikan klaim historis masyarakat Aceh terhadap keempat pulau tersebut menjadi bukti nyata adanya peminggiran terhadap hak-hak daerah yang dilindungi undang-undang.
Lebih jauh, keputusan tersebut dinilai juga mengingkari semangat MoU Helsinki yang menjadi dasar perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia. Salah satu butir penting dalam MoU itu adalah pengakuan terhadap wilayah Aceh beserta kewenangan dalam pengelolaannya. Bila pemerintah pusat, melalui Kemendagri, membuat keputusan sepihak tanpa konsultasi dan pengakuan terhadap semangat MoU, maka ini dikhawatirkan membuka kembali luka lama dan menggerus kepercayaan masyarakat terhadap komitmen negara.
Protes terhadap keputusan Kemendagri kini bergema tidak hanya di Aceh, tetapi juga menjadi perhatian nasional. Beberapa anggota DPR RI dari Dapil Aceh menyatakan akan membawa persoalan ini ke sidang Komisi II DPR, menuntut klarifikasi serta peninjauan kembali kebijakan tersebut. Lembaga swadaya masyarakat dan kelompok advokasi Aceh pun tengah menyiapkan langkah hukum, termasuk uji materi terhadap Permendagri yang mengatur batas tersebut.
Di sisi lain, Pemerintah Aceh telah mengirimkan surat keberatan resmi dan mendesak pembentukan tim independen lintas kementerian dan daerah untuk meninjau kembali penetapan batas yang disengketakan.
Masyarakat Aceh Singkil, yang selama ini hidup dalam damai, kini dihantui ketidakpastian dan keresahan. Para nelayan takut ditangkap atau diusir karena dianggap melewati “batas administrasi” yang baru ditetapkan. Sementara tokoh adat dan pemuda mulai memobilisasi forum-forum lokal untuk menyuarakan perlawanan secara konstitusional.
Situasi ini menggambarkan satu hal penting: pengabaian terhadap aspek historis, sosiologis, dan yuridis dalam penetapan batas wilayah, apalagi di daerah dengan kekhususan seperti Aceh, bukan hanya kesalahan prosedur, tetapi sebuah pelanggaran prinsip-prinsip perdamaian.
Ditengah kegaduhan yang sedang terjadi, saat ini nama pulau tersebut pada penelusuran google map juga berubah seketika. Berdasarkan hasil penelusuran redaksi, menemukan nama baru yang muncul pada google map terhadap pulau yang disengketakan itu.
Nama pulau yang berubah, yaitu Mutlaq pulau ini milik Aceh, Pulau punya Tapanuli Tengah, dan Tambang Nikel Fufufafa dan Mulyono. Semakin kegaduhan ini dinilai semakin melebar keman-mana, terjadi demo mahasiswa di depan Gedung Kemendagri, bahkan hingga munculnya tuntutan pemecatan Menteri Dalam Negeri RI, Tito Karnavian.
Kini, rakyat Aceh menanti langkah korektif dari Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Akankah ia memilih mendengar suara rakyat dan menjaga semangat MoU Helsinki, atau membiarkan kekeliruan birokratis menjadi bara yang merusak kepercayaan dan stabilitas daerah?
Yang pasti, keadilan wilayah bukan sekadar peta dan garis di atas kertas. Ia adalah soal kehormatan, kedaulatan rakyat, dan komitmen pada perdamaian yang telah lama dijaga dengan harga mahal.

