Oleh : Ulfah Irani Z.
BANDA ACEH (25/12/2022) – Pascatsunami, Aceh seakan mati suri. Almanak pun harus berubah karena tahun telah berganti. Dampak Tsunami yang dirasakan masyarakat Aceh tak ubahnya Perang Dunia II yang hampir meluluh lantakkan tanah rencong baik secara fisik maupun mental. Ditengah kegagapan pemerintah dalam menangani bencana mahadahsyat yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah kemerdekaan Indonesia, masyarakat Aceh yang tersisa terus berjuang untuk meneruskan kehidupan dalam keterbatasan saat itu.
Di sisi lain, masyarakat dunia, atas usulan Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, dukungan Sekjen PBB, Kofi Annan, komunitas ASEAN, kepala-kepala pemerintahan AS, Uni Eropa serta lembaga donor lainnya menggelar KTT bertajuk “Special ASEAN Leaders Meeting in Aftermath of Earthquake and Tsunami” untuk melakukan rehabilitasi dan rekontruksi pascatsunami Aceh. Setelah Konferensi Tsunami tersebut, masalah pembiayaan teratasi dengan janji bantuan lebih kurang US$ 3 billion. Selanjutnya, dibentuklah Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi Aceh (BRR) sebagai badan pelaksana pembangunan di Aceh dibawah pimpinan Kuntoro Mangkusubroto.
Namun, apakah dengan demikian masalah di Aceh sudah selesai? Kompleksitas masalah dan proses penanggulangannya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ada tantangan potensi konflik yang muncul dari Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dapat menyebabkan para donatur hengkang karena kekhawatiran dibunuh dan diculik.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, sebagai Ketua Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi menyampaikan upaya untuk menyelesaikan masalah konflik di Aceh secara damai dengan Panglima GAM Muzzakir Manaf dan petinggi GAM di Swedia. Akhirnya, penandatanganan naskah bersejarah perdamaian Aceh yang berjudul Memorandum of Understanding between The Government of Indonesia and Free Aceh Movement berlangsung di Swedia. Penandatanganan naskah bersejarah perdamaian Aceh di Swedia berlangsung pada tanggal 15 Desember 2005. Ini adalah hasil kerja sama antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berlangsung selama dua tahun setelah Pemerintah Indonesia mengirim pasukan militer ke Aceh. Tujuan dari perjanjian ini adalah untuk mencapai perdamaian dan stabilitas di Aceh.
Memorandum of Understanding (MoU)antara Pemerintah Indonesia dan GAM adalah dokumen yang mengatur berbagai aspek dalam bentuk perjanjian bilateral yang mencakup hak-hak sipil, kebebasan beragama, perubahan politik, dan demilitarisasi. MoU juga mengatur tentang pengaturan kembali hubungan antara Pemerintah Indonesia dan GAM, pengawasan dan pemantauan, serta partisipasi publik.
Penandatanganan Naskah Bersejarah Perdamaian ini menandai akhir dari konflik Aceh yang telah berlangsung selama lebih dari tiga puluh tahun. Perjanjian ini memiliki dampak besar bagi peningkatan stabilitas politik dan ekonomi di Aceh dan telah membuka jalan bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. MoU telah memberikan harapan baru kepada warga Aceh, karena telah menyediakan jalur bagi pemulihan dan pembangunan di Aceh.
Selain itu, MoU Helsinki juga mencakup pengakuan bahwa keragaman budaya, agama, dan bahasa di Aceh harus dihargai dan dihormati. Hal ini penting untuk memastikan perlindungan dan pengakuan hak-hak asasi manusia di Aceh. MoU Helsinki memberikan pengakuan terhadap hak-hak Aceh untuk mengatur dan menggunakan sumber daya alam di wilayahnya. Dengan demikian, MoU Helsinki memungkinkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh dan memperbaiki kehidupan ekonomi mereka.
Keberadaan pemuda juga berperan penting dalam mendukung masyarakat Aceh mencapai tujuan perdamaian. Pemuda harus menjadi penggerak utama dalam mendorong masyarakat untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai perdamaian. Melalui partisipasi mereka, pemuda dapat membantu masyarakat Aceh menyelesaikan masalah-masalah konflik yang mereka hadapi dan membangun perdamaian yang kokoh di Aceh. Dengan keterlibatannya, pemuda telah membantu memberikan dukungan kepada masyarakat Aceh untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dan membangun masyarakat yang lebih inklusif dan berdaya. Ini adalah cara untuk memastikan bahwa perdamaian di Aceh bertahan untuk jangka panjang. Dengan demikian, pemuda adalah salah satu faktor penting dalam pendukung perdamaian di Aceh dan pemecahan konflik di Indonesia.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh para pemuda, khususnya generasi milenial saat ini untuk menjaga perdamaian di Aceh. Pertama, Kaum milenial dapat menggagasnya dengan memulai percakapan yang membangun dan mendukung. Ini berarti bahwa kaum milenial harus memiliki pemahaman yang mendalam terhadap isu-isu yang lebih luas yang terkait dengan masalah perdamaian. Kaum milenial juga harus membantu menghubungkan dan membangun jejaring kuat dengan orang dan organisasi lain yang memiliki pemahaman yang sama tentang pentingnya menjaga perdamaian.
Kedua, kaum milenial juga harus mengikuti berita dan menyebarkan informasi yang akurat dan menghindari berita yang tidak dapat dipercaya. Ini akan memastikan bahwa mereka memiliki gambaran yang jelas tentang isu-isu yang sedang berlangsung di seluruh dunia dan dapat membantu menyebarkan informasi yang akurat kepada orang lain. Ketiga, kaum milenial harus menjadi suara bagi mereka yang tidak dapat diperdengarkan. Kaum milenial dapat berpartisipasi dalam berbagai gerakan dan kegiatan yang berkaitan dengan perdamaian. Mereka juga dapat menggunakan media sosial untuk menyebarkan pesan-pesan dan kampanye yang mendukung perdamaian. Dengan begitu, kaum milenial dapat berperan dalam membangun dan merawat perdamaian di seluruh dunia. Keempat, kaum milenial juga harus mencari cara untuk memotivasi orang lain untuk mendukung perdamaian. Selain itu, kaum milenial juga harus membangun keterampilan penting yang diperlukan untuk membangun perdamaian. Ini termasuk keterampilan komunikasi, negosiasi, dan keterampilan lain yang berkaitan dengan perdamaian. Dengan begitu, kaum milenial dapat lebih efektif berperan dalam membangun dan merawat perdamaian di seluruh dunia.
Editor : kreyatcenter.com
#mouhelsinki
#peringatan18tahun
#gempadantsunamiAceh
#26desember2004